ANALISIS PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
DI RS PROVINSI LAMPUNG 2013
Abstrak
Samino
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati
e-mail : onimas_dimdim@yahoo.co.id
Phone: 0878 9936 5460
Pelaksanaan tindakan medis infasif harus
memperoleh persetujuan pasien atau keluarganya, diwujudkan dalam bentuk dokumen
informed consent (Azwar, 1996). Hasil-hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan informed consent diberbagai RS belum
dilaksanakan dengan baik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan informed consent. Jenis penelitian kualitatif, dengan
pendekatan fenomenologi, dilakukan terhadap 3 pimpinan RS, 4 dokter spesialis, 10 perawat, dan 10 pasien/keluarganya. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Pengambilan data dengan purposive sampling, dan analisa data dengan content analysis.Penelitian dilaksanakan di 3 RS Provinsi Lampung, April - Juli 2013.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a). Pelaksanaan informed consent di tiga RS belum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (b). Informasi medis yang dijelaskan oleh
dokter kepada pasien/keluarganya belum lengkap. (c). Pada umumnya dokter dalam
menjelaskan rencana tindakan telah menggunakan bahasa yang dipahami
pasien/keluarganya. (d). Antara pemberi penjelasan dengan yang melakukan
tindakan adalah dilakukan oleh dokter yang sama. (e). Umumnya penjelasan
tambahan oleh perawat tidak dibenarkan, namun ada satu RS yang memeberi
kewenangan pada perawat senior untuk memberi penjelasan jika dokter tidak
ada. (f). Informasi diberikan secara
tertulis dan dijelaskan secara lisan akan lebih baik dibandingkan dengan hanya
diberikan secara lisan. Disarankan setiap RS mengevaluasi pelaksanaan informed consent setiap triwulan untuk melihat keseuaian
pelaksanaannya.
Kata kunci : pelaksanaan informed consent
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsep masyarakat modern, kedudukan dokter sejajar
dengan pelanggan. Keputusan menerima atau menolak usulan dokter menjadi hak
sepenuhnya pelanggan. Pelaksanaan tindakan medis infasif harus memperoleh
persetujuan pasien atau keluarganya, diwujudkan dalam bentuk dokumen informed consent (Azwar, 1996). Hasil
penelitian Samino (2003), di RSCM (Irna A dan B) Jakarta dan Samino dan Dina (2008), di RSAM (Ruang
Bedah Pria) Lampung, menunjukkan bahwa implementasi informed consent belum sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan informed consent.
Tujuan dan manfaat penelitian
Diperoleh gambaran implementasi informed consent mencakup waktu
pemberian informasi dan persetujuan, tempat pemberian, informasi yang
dijelaskan, bahasa yang digunakan, penjelasan oleh perawat, dan informasi tertulis. Sebagai
bahan masukan bagi pimpinan RS untuk meningkatkan mutu pelayanan informed consent.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Informed Consent
Kozier
(2001) mengatakan yang dimaksud informed
consent adalah “an agreement by a
client to accept a course of traetment or a procedure after complete
information, including the risk of treatment and facts relating to it, has
been, provided by the physician” (informed
consent merupakan persetujuan pasien untuk menerima tindakan atau prosedur
setelah pemberian informasi lengkap
termasuk resiko tindakan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan itu, yang
telah diberikan oleh dokter). Inforned consent sendiri ada dua pengertian, informed berarti telah mendapatkan penjelasan, dan consent berarti persetujuan. Informed consent dalam profesi
kedokteran adanya persetujuan dari
pasien/keluarganya terhadap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter yang
merawatnya terhadap dirinya. Persetujuan diberikan setelah pasien diberikan
penjelasan yang lengkap dan objektif tentang diagnosis penyakit, upaya
penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan (Prawirohardjo,
2006). Sedangkan Permenkes No: 290/Menkes/ Per/III/2008 : Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien.
Proses
pelaksanaan informed consent diawali
dari pemberian informasi oleh dokter yang bertanggung jawab kepada
pasien/keluarganya, dokter menandatangani dokumen tersebut dengan mencantumkan
tanggal dan waktu, serta persetujuan atau penolakan oleh pasien/keluarganya. Jika
pasien/keluarganya telah setuju dengan membubuhkan tanda tangan dan mencatat
tanggal dan waktunya, kemudian diikuti para saksi. Proses pemberian informasi
dilaksanakan pada tempat yang nyaman, tenang, dan disaksikan oleh keluarga
pasien dan perawat yang turut merawatnya. Hal-hal yang terkandung dalam informed consent dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Tujuan informed consent
Untuk menimbulkan pengertian dan pemahaman
pada diri pasien/keluarganya tentang tindakan medik yang akan dialaminya
sehubungan dengan masalah kesehatan yang dideritanya. Dengan pemahaman tersebut
pasien dapat menentukan sikapnya, apakah menolak atau menerima usulan dokter. Dengan
tercapainya tujuan ini pasien akan dapat menetapkan keputusan yang menurut
pertimbangannya terbaik bagi dirinya (educated
decision) (Azwar, 1996).
Peranan dan tanggung jawab dalam informed
consent
Dokter mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan informed consent. Dokter
bertanggung jawab atas pelaksanaan informed
consent, sejak pemberian penjelasan
sampai pasien memberi persetujuan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang berkewajiban
menjelaskan informasi medis adalah dokter yang merawatnya. Apabila dalam keadaan
tertentu atau kedaruratan, dokter tersebut berhalangan, maka tugas penjelasan
dapat diwakilkan kepada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang
bersangkutan. Pendelegasian wewenang kepada perawat hanya dibenarkan apabila
tindakan kedokteran tersebut bukan merupakan tindakan bedah atau tindakan
invasif lainya.
Manfaat informed consent
Apabila persetujuan tindakan medik dapat
dilaksanakan dengan baik, akan diperoleh banyak manfaat, antara lain: (a) lebih
memandirikan pasien, (b) lebih meningkatkan hubungan dokter-pasien, (c)
melindungi dari gugatan hukum (sebagai alat bukti yang kuat).
Peran perawat dalam informed consent
Peran
perawat dalam pelaksanaan informed consent sebagai saksi (Keputusan Diryanmed (HK.00.06.3.5.1866/1999). Artinya dia menyaksikan bahwa dokter telah memberikan penjelasan kepada pada
pasien yang akan dilakukan tindakan tersebut.
Cara menyampaikan informasi medis dan persetujuan
Secara umum cara penjelasan dibedakan atas
dua macam: (a) penjelasan yang disampaikan secara lisan, (b) penjelasan yang
disampaikan secara tulisan. Penjelasan tertulis hanya sebagai pelengkap dari
penjelasan yang telah disampaikan. Pernyataan persetujuan terhadap
tindakan medik, dibagi menjadi dua cara. Pertama, persetujuan yang dinyatakan
secara tertulis (expressed consent).
Cara seperti ini umumnya diperlukan apabila tindakan medik yang akan dilakukan
mengandung resiko yang tinggi. Kedua, persetujuan dinyatakan secara lisan (implied consent). Cara ini diperlukan
apabila tindakan medik yang akan dilakukan tidak mengandung resiko yang
tinggi.
Dokter dan tempat pemberian informasi
Dokter yang dapat memberikan informasi
medis adalah dokter umum / dokter spesialis, dan dokter gigi / dokter gigi
spesialis yang bekerja di RS /institusi tersebut (Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5.1866/1999). Informasi medis diberikan di ruang
dokter atau ruangan lain yang kondusif,
artinya tidak terganggu oleh pihak lain, sehingga informasi medis dapat
diterima dengan baik.
Waktu
pemberian informasi medis , persetujuan, dan bahasa
Berdasarkan Kep.Dir.Yanmedis
HK.00.06.3.5.1866/1999, mengharuskan, pasien sudah memberi persetujuan paling
lambat 24 jam. Maknanya (dalam keadaan normal) informasi medis seharusnya lebih
dari 24 jam (minimal 36 jam sebelum jadwal tindakan), dengan demikian sebelum
24 jam pasien masih mempunyai waktu berfikir 12 jam.
Untuk memperoleh informed consent yang memenuhi aspek hukum, dokter dalam memberikan
informasi medis harus menggunakan bahasa yang mudah untuk dipahami pasien.
Berdasarkan Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008, Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan
bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman (Ps. 9 (1)).
Hubungan dokter dan pasien
dalam informed consent
Segi yuridis, hubungan antara dokter dan pasien
merupakan suatu hubungan perjanjian di antara keduanya. Apabila ada suatu persetujuan
yang harus ditandatangan pasien, berarti telah terjadi perjanjian secara
tertulis. Sedangkan apabila tidak dilakukan penandatanganan suatu persetujuan,
artinya telah terjadi perjanjian secara diam-diam.
Hubungan dokter-pasien, segala cara/upaya
penyembuhan ini dapat ditegakkan apabila pasien/keluarga pasien mau bekerja
sama dengan dokter (tidak menghambat, menghalangi, ataupun menyulitkan) dalam
hal memberikan informasi tentang penyakit secara benar dan jelas.
Karangka Kerja Penelitian
Kerangka konsep penelitian menggunakan pendekatan teori
sistem (iput, proses, output, dan
outcome) sebagai berikut:
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Menggunakan metode kualitatif, bersifat eksploratif (eksploratif) dengan
pendekatan fenomenologi. Menurut Bogdan (1993), metode
kualitatif adalah prosedur riset yang menghasilkan data kualitatif, tentang
ungkapan, atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku mereka yang
terobservasi. Rancangan ini memungkinkan peneliti memperoleh jawaban atau
informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang.
Informan, Kualifikasi, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Sebagai informan adalah tiga pimpinan RS (dua
direktur dan satu Ketua Komite Medik), empat orang dokter spesialis, sepuluh perawat
ruangan, dan sepuluh pasien/keluarganya
yang pernah memberikan persetujuan tindakan medik. Dokter adalah yang sudah pernah memberikan informasi medis. Perawat yang pernah menjadi
saksi, dengan berpendidikan minimal D-III Keperawatan. Pemilihan informan dengan pendekatan proporsive sampling, dilaksankan di RSAM, IM, dan MH Pringsewu, dilaksanakan April -
Juli 2013.
Definisi Istilah
Penelitian ini dengan pendekatan kualitatif, maka
dalam pengkajian fokus pada hal-hal sebagai berikut:
Faktor
|
Definisi istilah
(informan)
|
Sumber data
|
Metode
|
Waktu pemberian
informasi dan persetujuan
|
Adalah waktu dokter memberikan informasi medis dan persetujuan
pasien/keluarganya.
(dokter, perawat, pasien/keluarganya)
|
Primer
|
Wawancara
|
Tempat pemberian informasi
|
Adalah tempat dokter dalam menjelaskan rencana tindakan medis
kepada pasien/kelauarganya (dokter, perawat, pasien/keluarganya)
|
Primer
|
Wawancara
|
Informsi medis yang
dijelaskan
|
Informasi medis yang dijelaskan oleh dokter kepada pasien/
keluarganya. (dokter, perawat, pasien/ keluarganya)
|
Primer
|
Wawancara
|
Bahasa yang digunakan
|
Adalah bahasa yang digunakan oleh dokter untuk menjelaskan
informasi medis (dokter, perawat, pasien/keluarganya)
|
Primer
|
Wawancara
|
Pemberi informasi dan operatornya
|
Adalah dokter yang memberikan penjelasan rencana
tindakan apakah yang akan melakukan tindakan
|
Primer
|
Wawancara
|
Penjelasan perawat
|
Adalah penjelasan mengenai rencana tindakan medis yang
dilakukan oleh profesi keperawatan
|
Primer
|
Wawancara
|
Informasi medis tertulis
|
Adalah informasi medis diberikan oleh
dokter kepada pasien/keluarganya diberikan secara tertulis dan jelaskan
secara lisan.
|
Primer
|
Wawancara
|
Jenis, cara pengambilan pata dan
analisis
Data primer diperoleh dari pimpinan RS, pasien/keluarganya, dokter, dan perawat. Metode pengumpulan data wawancara mendalam (pasien/keluarganya dan perawat). Untuk
pimpinan RS dan dokter pengambilan data dengan wawancara terstruktur, hal ini
dilakukan karena sulit untuk menentukan jadual yang sesuai. Hasil jawaban informan disusun dengan
pendekatan content analysis.
HASIL PENELITIAN
Waktu Pemberian Informasi Medis dan Persetujuan
Menurut informan (dokter) dalam memberikan informasi medis dilakukan satu hari
sebelum rencana tindakan dilakukan. Hal ini diperkuat dengan informan (perawat), mengatakan umumnya dokter memberikan penjelasan kepada pasien/keluarganya
sehari sebelumnya. Hasil ini juga diperkuat
oleh pasien/keluarganya, dimana mereka memberikan persetujuan rencana tindakan satu hari sebelumnya. Namun sebagian
lain mengatakan memberikan persetujuan sebelum tindakan dilaksanakan (menjelang
tindakan akan dilaksanakan). Berdasarkan uraian di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa waktu
pemberian informasi medis dan persetujuan oleh keluarga pasien dilakukan sehari
sebelum tindakan dilakukan.
Waktu pemberian informasi medis dan persetujuan
menjadi masalah penting dalam pelayanan kesehatan berkaitan dengan tindakan
yang sifatnya pilihan, bukan kegawatdaruratan. Berdasarkan Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5.1866/ 1999, mengharuskan pasien sudah memberi persetujuan paling lambat 24 jam.
Maknanya (dalam keadaan normal) informasi medis seharusnya sudah diberikan lebih dari 24 jam (minimal 36 jam sebelum jadwal
tindakan), dengan demikian pasien masih mempunyai waktu berfikir 12 jam untuk menentukan apakah tawaran/usulan dokter
tersebut disetujui atau ditolak. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa waktu pemberian informasi medis dan persetujuan oleh keluarga pasien
dilakukan sehari sebelum tindakan dilakukan. Pelaksanaan pemberian informasi
medis oleh dokter dan persetujuan oleh pasie/keluarganya sudah sesuai dengan
keputusan Dir.Yanmedik tersebut diatas, namun sebaiknya penjelasan diberikan
lebih dari satu hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan Samino (2003), yang
menyatakan bahwa tenggang waktu pemberian informasi medis dengan rencana
tindakan yang akan dilakukan lebih dari 24 jam bahkan ada yang satu bulan
sebelumnya. Peneliti menyadari bahwa
informasi tersebut perlu di konfirmasi dengan sumber lain, misalnya dengan
melakukan observasi. Dengan observasi ini diyakini dapat memperoleh informasi
yang lebih akurat, oleh karena itu metode pengambilan data dengan observasi
penting untuk dipertimbangkan.
Tempat Pemberian Informasi
Menurut (dokter),
tempat pemberian informasi medis dilakukan diberbagai tempat, ada yang
dipolikilinik, ruang perawat, ruang perawatan, maupun di ruang kerja dokter.
Hasil ini didukung oleh penjelasan pimpinan RS yang menjelaskan bahwa tidak ada
ruang khusus yang disiapkan untuk proses pemberian informasi medis. Demikian (keluarga pasien) mengatakan bahwa tempat
pemberian informasi medis tidak menentu, kadang-kadang tempat perawat (kantor perawat), bangsal (tempat tidur), atau
poliklinik.
Hasil penelitian belum sepenuhnya mengikuti
ketentuan Kep.Dir.Yanmedis
HK.00.06.3.5. 1866/1999. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa informasi medis diberikan di ruang dokter atau ruangan lain yang kondusif, artinya
tidak terganggu oleh pihak lain, sehingga informasi medis dapat diterima oleh pasien/keluarganya dengan baik. Mengingat bahwa tempat pemberian
informasi medis di berbagai tempat, telah menjadi kewajiban bagi RS harus
menyediaakan tempat/ruangan khusus untuk pelaksanaanya. Jika RS menyediakan tempat untuk itu, maka proses
tersebut akan berjalan dengan baik, sehingga mutu pelayan informed consent terjaga dengan baik. Hal ini didukung oleh
Permenkes No. 290/2008, pasal 17 (2) ditegaskan bahwa sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas
pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (medis). Ketentuan pasal 17 tersebut didukung oleh pasal 18 (2), bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, dinas kesehatan perlu melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pelayanan tersebut.
Salah satu contoh RS yang telah menyediakan ruang
untuk kunsultasi dokter dengan pasien seperti yang diterapkan pada Unit Swadana
RSAM, ada salah satu ruangan yang
disediakan untuk pemberian informasi medis, dimana di ruangan tersebut ada meja
dan kursi serta peralatan lain untuk menunjang penjelasan dokter seperti hasil
pemeriksaan penunjang. Ketersediaan ruang ini memberikan rasa nyaman bagi
pasien / keluarganya untuk menyampaikan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi,
demikian juga dokter akan memberikan penjelasan secara mendalam, termasuk jika
ada hal-hal yang sifatnya menjadi kerahasiaan pasien, dengan demikian
kerahasiaannya dapat terjamin.
Isi Informasi Medis
Berdasarkan hasil
wawancara informan (dokter, perawat, dan pasien/keluarganya) dapat disimpulkan
bahwa informasi medis yang dijelaskan oleh dokter kepada pasien/keluarganya
mencakup : penjelasan mengenai penyakit
yang dideritanya, tindakan/terapi yang akan dilakukan, tujuan tindakan, resiko/komplikasi, alternatif tindakan yang
dapat dilakukan, prognosisnya,
dan perawatan selanjutnya.
Hasil penelitian ini jika dibandingkan keputusan Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5.1866/1999. Belum sesuai. Dalam peraturan ini ada enam
hal/informasi medis yang harus dijelaskan kepada pasien/keluarganya: a. Tujuan
dan prosfek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan (purpose of medical procedure), b. Tata
cara tindakan medis yang akan dilakukan (contemplated
medical procedures), c. Resiko (risk
inherent in such medical procedures). d.Alternatif tindakan medis lain yang
tersedia dan serta resikonya masing-masing (alternative
medical procedure and risk), e. Prognosis penyakit apabila tindakan medis
tersebut dilakukan (prognosis with and
without medical procedure). f. Diagnosis.
Hasil penelitian ini di atas jika dibandingkan
dengan ketentuan Pasal 45 UU No. 29/2004 tentang Praktik
Kedokteran, juga belum sesuai. Pasal
tersebut memberikan arahan bahwa penjelasan rencana tindakan minimal mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis, b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan, c. Alternatif tindakan lain dan risikonya, d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi,
dan e. Prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan.
Hasil diatas jika dibandingkan lagi dengan arahan Sampurna, at.all (2006), masih
jauh dari ketentuan ini. Menurut Sampurna ada 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan
kepada pasien : a. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis
apabila tidak diobati, b. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis
banding) termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan, c. Pilihan pengobatan
atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya, termasuk pilihan untuk
tidak diobati, d. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau
pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan
nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan
dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa
terjadi dan yang serius, e. Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang
kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi
tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya
hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut, f. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut
adalah upaya yang masih eksperimental, g. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat
sampingannya akan dimonitor atau dinilai kembali, h. Nama dokter yang bertanggungjawab secara
keseluruhan untuk pengobatan tersebut, serta bila mungkin nama-nama anggota tim
lainnya, i.
Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka
sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan, j. Mengingatkan
kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu. Bila hal itu
dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas konsekuensi pembatalan
tersebut, k.
Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain, l. Bila memungkinkan,
juga diberitahu tentang perincian biaya.
Dengan demikian jika dilihat dari isi informasi
medis yang dijelaskan oleh dokter kepada pasien/keluarganya, ternya belum
memenuhi harapan, karena masih ada hal yang belum dijelaskan, misalnya tata
cara tindakan, resiko masing-masing alternatif, dan pembiayaan. Belum ada
informasi mengapa para dokter belum memberi penjelasan dengan lengkap. Menurut
penjelasan informan, penjelasan kepada pasien cukup dijelaskan yang
penting-penting saja, yang lengkap adalah untuk kepentingan akademik. Hemat
peneliti, kesadaran para dokter dalam hal ini perlu ditumbuh kembangkan melalui
berbagai saluran, misalnya berbagai pelatihan mengenai hak-hak pasien yang
berkaitan dengan pelaksanaan informed
consent.
Bahasa dalam Informed
Consent
Hasil penelitian menunjukkan, baik dari informan
dokter, perawat, maupun pasien/keluarganya dapat disimpulkan bahwa dokter dalam
menjelaskan rencana tindakan menggunakan bahasa yang mudah dipahami (Bahasa
Indonesia). Hasil penelitian sesuai dengan ketentuan dalam Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008, penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah
dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman pasien/keluarganya (Pasal 9 (1)).
Penggunaan bahasa oleh dokter dalam menjelaskan
rencana tindakan medis kepada pasien/keluarganya merupakan hal yang sangat penting, karena adanya perbedaan pengetahuan
dokter dan pasien/keluarganya, mengenai materi yang harus dijelaskan kepada
pasien, biasanya merupakan istilah-istilah kedokteran, dan adanya perbedaan status
sosial, ketersediaan waktu dokter, beban tugas cukup banyak, dapat mengakibatkan
komunikasi kurang efektif. Hal ini senada dengan pendapat Astuti (2013), pemberian informasi dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan
membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Oleh karena itu
seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap pasiennya disampaikan
dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien. Seperti
diketahui kebanyakan pasien adalah awam dengan bahasa kedokteran dan tidak semua istilah-istilah kedokteran dapat
diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa orang awam. Akan lebih baik jika penjelasannya disertai dengan
gambar-gambar sederhana, sehingga pasien/keluarganya akan cepat memahaminya.
Kesempatan Bertanya
Berdasarkan hasil wawancara informan (dokter,
perawat, dan pasien/keluarganya) dapat disimpulkan bahwa dokter dalam
memberikan penjelasan rencana tindakan yang akan dilakukan, memberikan
kesempatan kepada pasien/keluarganya untuk menanyakan (berdiskusi), mengenai
rencana tindakan yang akan dilakukan.
Sebelum pasien/keluarganya memberikan keputusan
untuk meneruskan pengaobatan atau tidak, bahkan mencari pelayanan lain, salah
satunya ditentukan oleh proses pemberian informasi medis. Proses ini memerlukan
waktu untuk menentukan apakah menerima atau menolak tawaran dokter. Disini
harus terjadi dialog antara dokter dengan pasien/keluarganya. Dialog ini untuk
memperoleh pemahaman yang menyeluruh sehingga keputusannya menjadi bulat. Berdasarkan pemahaman tersebut, pasien
menetapkan keputusan mandiri, yang menurut pertimbangan adalah terbaik bagi
dirinya (adequate decision). Hasil
penelitian ini sesuai dengan hal tersebut di atas, dimana dokter dalam
memberikan penjelasan rencana tindakan yang akan dilakukan memberikan
kesempatan untuk berdiskusi kepada pasien/keluarganya. Dengan demikian harapan
bahwa keputusan yang diambil oleh pasien / keluarganya secara mandiri tidak ada
tekanan dari pihak lain dapat tercapai.
KKI sebagai lembaga yang mengawal kemajuan ilmu
pengetahuan kedokteran, dalam pelayanan informed consent harus terjadi diskusi
antara dokter dan pasien/keluarganya. Setelah keputusan diajukan pun seorang
dokter harus memastikan kembali apakah benar-benar sudah mantap untuk menerima
tawaran. Hal tersebut didukung oleh Sampurna, at.all (2006), mengatakan bahwa
dalam proses pemberian informasi medis, dokter harus menyediakan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang diberikan, dan
kesempatan bertanya tentang hal-hal yang bersifat klarifikasi, sebelum kemudian
diminta membuat keputusan.
Sinyalemen Sampurna didukung oleh Sarimin (2006)
mengutif pendapat Brown, bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan pasien mengeluh terhadap pelayanan yang diberikan dokter adalah bahwa dokter tidak memiliki
waktu yang cukup untuk pasien maupun keluarganya, dokter tidak menyadari bahwa pasien
memiliki kebutuhan khusus yang harus dipenuhi oleh seorang dokter.
Sinyalemen ini juga diungkapkan oleh salah satu
informan pimpinan RS bahwa pada umumnya dokter sangat sibuk dan sangat minim
untuk memberikan perhatian kepada pasiennya. Dia berharap akan memperbaiki
manajemen ini untuk tenaga yang baru, mudah-mudahan ini bisa dilaksanakan,
karena tidak mungkin akan merubah perilaku tenaga medis yang sudah sangat
senior ini.
Pemberi Informasi Medis dan Pelaksana Tindakan
(Operator)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dokter yang
menjelaskan rencana tindakan medis adalah yang akan melakukan tindakan
tersebut. Hasil ini sesuai dengan pasal 10 (1) Permenkes 290/2008, rencana
tindakan medis diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah
satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. Permenkes memberikan keleluasan
dalam penyampaian penjelasan. Jika dokter/dokter gigi yang merawatnya
berhalangan, pemberian penjelasan dapat didelegasikan kepada dokter lain yang
kompeten (Pasal 10 (2)). Selain dokter/dokter gigi, tenaga kesehatan lain yang terlibat langsung dalam
perawatannya juga boleh memberikan penjelasan. Apabila
dalam keadaan tertentu diantara tim dokter berhalangan, maka tugas penjelasan
dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan lain yang terlibat langsung dalam perawatannya (Pasal 10
(4).
Tidak ada penjelasan mengenai siapa yang dimaksud
tenaga kesehatan lain. Namun penulis menduga bahwa yang dimaksud adalah tenaga
keperawatan. Jika hal itu yang dimaksud, maka pendelegasian wewenang tersebut hanya dibenarkan apabila tindakan kedokteran tersebut bukan merupakan
tindakan pembedahan atau tindakan invasif lainya yang beresiko tinggi.
Perawat yang mendapat tugas tersebut harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang cukup, sehingga apa yang dijelaskan tidak terlalu berbeda, apabila
dijelaskan oleh dokter/dokter gigi yang
bertanggung jawab. Ketentuan ini dilaksanakan oleh salah satu RS yang menjadi
kajian, telah menerapkan kebijakan ini secara terbatas. Perawat yang ditunjuk
adalah perawat senior, dia mewakili pimpinan RS apabila pimpinan /dokter tidak
ada. Biasanya dilakukan apabila hari-hari libur, atau bukan jam kerja.
Penjelasan perawat berkaitan dengan kesiapan dan pembiayaan yang akan
ditanggung.
Hemat peneliti, ketentuan terakhir sebaiknya
ketentuan terakhir tidak perlu, masalah informasi rencana tindakan harus
diberikan oleh dokter yang merawatnya. Hal ini berkaitan dengan sistem
pertanggung jawaban, baik secara medis, administratif, maupun hukum.
Penjelasan oleh Perawat
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya informan (dokter) mengatakan, perawat
tidak perlu memberikan penjelasan tambahan kepada pasien/ keluarganya mengenai
rencana tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Namun menurut informan lain (pimpinan) mengatakan, perawat boleh
memberikan penjelasan tambahan khususnya
mereka yang sudah memahami dibidangnya masing-masing (senior). Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan Keputusan Diryanmed (HK.00.06.3.5.1866/1999, yaitu peran perawat dalam pelaksanaan informed consent sebagai saksi. Ada pengecualian dalam ketentuan tersebut terkait dengan keberadaan
perawat. Pendelegasian
wewenang kepada perawat hanya dibenarkan apabila tindakan kedokteran tersebut
bukan merupakan tindakan bedah atau tindakan invasif lainya. Artinya untuk tindakan infasif dokter tidak boleh
mendelegasikan kepada tenaga perawat. Perawat tidak diperbolehkan
memberikan informasi mengenai suatu tindakan medik meskipun pasien yang
memintanya. Perawat harus dapat menjelaskan kepada pasien/keluarganya bahwa hal
tersebut adalah kewenangan dokter untuk menjelasan (Guwandi, 2004).
Kenyataan dilapangan
masih ada pasien atau keluarganya tidak memperoleh penjelasan yang cukup,
sehingga perawat sebagai advokator pasien selama 24 jam mempunyai kewajiban
untuk medampingi, dan memberikan dorongan psikologis terhadap berbagai rencana
tindakan medis infasif yang akan dihadapi, dan tidak jarang perawat terpaksa
harus memberikan penjelasan tambahan atas penjelasan dokter. Hal ini sesuai
hasil penelitian Mahmud (2014), mengatakan bahwa perawat
masih melaksanakan tugas-tugas yang bukan kewenangannya, seperti memberikan
informasi mengenai suatu tindakan medik. Bahkan perawat yang harus memintakan
tanda tangan di lembar persetujuan informed
consent.
Informasi
Medis Tertulis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua
informan (dokter) mengatakan setuju jika informasi secara tertulis dan
dijelaskan secara lisan kepada pasien/keluarganya. Hal yang sama disampaikan
oleh informan (pimpinan), mengatakan
bahwa setuju apabila informasi medis diberikan dalam bentuk tertulis dan
dijelaskan secara lisan. Demikian juga menurut informan (perawat), informasi tertulis akan lebih baik dibandingkan dengan secara
lisan, karena lebih lengkap dan ada buktinya bahwa dokter telah menjelaskan dan
pasien/keluarganya dapat dibaca kembali.
Hasil penelitian di atas akan sejalan dengan
kebijakan kementerian kesehatan. Berdasarkan Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 dan Kep.Dir.Yanmedis HK.00.06.3.5. 1866/1999, cara menyampaikan penjelasan oleh
dokter yang bertanggung jawab dibedakan atas, (a) penjelasan yang disampaikan secara lisan, (b)
penjelasan yang disampaikan secara tertulis.
Ketentuan ini memberi peluang
bagi dokter untuk memilih apakah hanya menyampaikan secara lisan atau keduanya
dijalankan. Sesuai hasil pengkajian belum ada dokter yang memberikan penjelasan
secara tertulis dan dijelaskan dengan lisan. Namun hasil ini menyimpulkan bahwa
informan setuju bila informasi dijelaskan sebaiknya ditulis terlebih dahulu
baru dijelaskan secara lisan. Informasi tertulis dan dijelaskan secara lisan
akan lebih mudah untuk dipahami dan dapat dibaca kembali. Informasi tertulis
akan memberikan kepastian informasi dan kepastian hukum, karena dapat
dibuktikan secara outentik.
Hal ini sesuai hasil penelitian Samino (2003),
menjelaskan bahwa informasi secara lisan mempunyai berbagai kelemahan, pertama
ketidak jelasan informasi medis, dan lemah sebagai alat bukti, sehingga
informasi tertulis dan dijelaskan secara lisan akan mengurangi hal tersebut.
Secara tersirat bahwa informasi secara tertulis lebih baik dibandingkan dengan
lisan, dikatakan oleh Sampurna, at.all (2006), menjelaskan untuk meningkatkan
pemahaman pasien/keluarganya dokter dapat menggunakan
alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain apabila hal itu dapat
membantu memberikan informasi yang bersifat rinci.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa penjelasan dengan alat bantu harapannya lebih efektif, apalagi jika
informasinya secara tertulis tentu akan lebih mudah dipahami, karena bisa
dibaca ulang. Informasi tertulis dapat menjadi dokumen yang baik, sehingga bisa
dijadikan sebagai alat bukti yang kuat, dapat melindung para pihak yang
berkepentingan, oleh karena itu perlu adanya pengkajian berbagai kebijakan yang
menyatakan bahwa informasi medis disampaikan secara lisan, dan tertulis hanya sebagai pelengkap. Seharusnya informasi
disampaikan secara tertulis dan dijelaskan secara lisan, bukan sebaliknya.
A. Simpulan dan saran
Berdasarkan uraian pada
bagian sebelumnya dapat disimpulkan:
(a). Pelaksanaan informed consent
di tiga RS belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (b).
Informasi medis yang dijelaskan oleh dokter kepada pasien/keluarganya belum lengkap.
(c). Pada umumnya dokter dalam menjelaskan rencana tindakan telah menggunakan
bahasa yang dipahami pasien/keluarganya. (d). Antara pemberi penjelasan dengan
yang melakukan tindakan adalah dilakukan oleh dokter yang sama. (e). Umumnya
penjelasan tambahan oleh perawat tidak dibenarkan, namun ada satu RS yang
memeberi kewenangan pada perawat senior untuk memberi penjelasan jika dokter
tidak ada. (f). Informasi diberikan
secara tertulis dan dijelaskan secara lisan akan lebih baik dibandingkan dengan
hanya diberikan secara lisan. Disarankan setiap RS mengevaluasi pelaksanaan informed consent setiap triwulan untuk melihat keseuaian
pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, 2013, Hubungan
Hukum Antara Dokter dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, http://ejournal.umm.ac.id 6/3/2014
Azwar, Azrul, ,1996, Pengantar pelayanan dokter keluarga, Yayasan
Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta
Bogdan, Robert dan Tailor Steven J, 1993, Kualitatif Dasar-dasar Penelitian, Usaha
Nasional, Surabaya
Departemen Kesehatan RI, Keputusan Direktur Jendral Pelayanan Medik, HK.00.06.3.5.1866, tahun
1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent)
Departemen Kesehatan, Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Guwandi, J, 2002, Hospital
Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence), Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
Guwandi, J, Tanya
- Jawab Persetujuan Tindakan Medik, Edisi kedua, Jakarta, FKUI, 2004.
Keputusan Direktur RSIM
No.284/ADM/RSI/SKD/VIII/2011 tentang SPO
Pelayanan Rekam Medik Revisi I (Satu), pada RSI Provinsi Lampung.
Keputusan Direktur RSMH No.166/SK/RSMH/I/2011
tentang Pemberlakuan SPO Rekam Medis RSMH
Pringsewu
Keputusan Direktur Utama RSUD No.420/
64254.5.3/X/2011 tentang Pemberlakuan SPO
Pelayanan Rekam Medis pada RSUD AM Provinsi Lampung
Kozier,B,Glenora Erb, Kathaleen Balir, 2001, Profesional Nursing practice concept
and persfectives (third edition),
Aldison Wesley Longman, Inc California
Mahmud, Peran
Perawat dalam Informed Consent pre Operasi di Ruang Bedah Rumah Sakit Umum
Pemangkat Kalimantan Barat, http://eprints.undip.ac.id/10595/1/Artikel.pdf,
2014
Prawirohardjo, Sarwono,
2006, Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
Samino dan Dina Dwi RR, 2008, Pelaksanaan Informed Consent di Ruang
Rawat Inap Kutilang RS Abdoel Moeloek, Lampung
Samino, Analisa
Pelaksanaan Informed Consent di IRNA RS Dr. Cipto Mangunkusumo ditinjau dari
Aspek Hukum, Jakarta, 2003
Sampurna, Budi, (et al.), 2006, Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta
Sarimin, Alberth Darwono, 2006, Analisis Faktor-faktor Kejelasan Informasi Medis yang diterima oleh Pasien pra Operasi Katarak di Rumah Sakit Umum William Booth
Semarang, Universitas Diponegoro Semarang
UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran.
Nama : dr.suryanti
BalasHapusNpm 14420105
Kb batam
Hadir pak
nama : dr.Anjari wahyu wardhani
BalasHapusnpm :14420006
Kb batam
hadir pak
Ok, tk atas kunjungannya. Tolong kalau ada masukan.
BalasHapus